BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 10 Januari 2010

Tukul Arwana Punya Kecerdasan untuk Sukses? (8)

III


SUCCCESSFUL INTELLIGENCE TUKUL ARWANA? (sambungan)

Menekuni profesi lawak
Kisah sukses Tukul menunjukkan bahwa dia tidak gampang menyerah pada tantangan hidup. Dia menunjukkan ketekunan demi meraih cita-citanya. Ketekunannya memang muncul sebagai rangkaian frustrasi dan kegagalan selama bertahun-tahun sebelum dia meraih sukses. Ketika dia menyadari besarnya tantangan hidup, krisis batin yang hampir membuyarkan cita-citanya, dan perlunya memiliki kesabaran, dia menunjukkan ketekunan.


Dia menyatakan untuk berhasil dalam kehidupan, orang harus mempunyai tidak hanya “ketekunan” tapi juga “kemauan yang kuat.” Kemauan yang kuat menghasilkan ketekunan. Suatu kekuatan batin lain yang dipelajari dan dimiliki Tukul adalah disiplin. Menurut saya, ketiga-tiganya menghasilkan suatu rangkaian hubungan sebab-akibat. Kemauan yang kuat menghasilkan disiplin dan kedua-duanya membentuk ketekunan. Ketekunan, menurut Tukul, bisa menghantar orang pada sukses asal mereka rela melakukan pekerjaan apa pun dan menunggu datangnya waktu yang tepat dari keberhasilannya. “Kalau menekuni pekerjaan apa pun,” katanya, “maka akan menghasilkan.” Selain itu, waktu untuk keberhasilan harus tepat; dalam kisah suksesnya, waktu untuk suksesnya 17 tahun. Dia secara religius atau afektif menyebut ketekunan sebagai “doa orang teraniaya” yang bisa mengubah kehidupan mereka. Katanya, “. . . doa orang teraniaya itu manjur.” Hasil ketekunan yaitu sukses dan ketenaran yang diraihnya disebut “kristalisasi butir keringat.”


“Orang yang secara sukses cerdas tahu kapan bertekun.”

Menerjemahkan impian ke dalam tindakan
Pikiran utama Tukul ketika masih miskin adalah menjadi sukses dan terkenal. Dia menerjemahkan pikiran utama ini melalui tindakan. Dia menempuh perjalanan hidup yang berat dan berliku-liku, dengan memakai berbagai macam siasat dan pedoman praktis yang dipelajarinya dari buku dan petuah orang lain, dan berhasil mencapai tujuannya dalam waktu 17 tahun.

“Orang yang secara sukses cerdas menerjemahkan pikirannya menjadi tindakan.”

Sukses membutuhkan proses yang panjang
Hasil dicapai melalui proses. Tukul pun menyadari hal ini. Dia melihat asas hidup ini sebagai bagian dari hidup. Hidup itu mengalir, katanya. Proses dan produk bagian dari dinamika hidup. Dalam kisah suksesnya, sukses itu hasil yang ingin diraihnya. Bagaimana orang mencapai produk (sukses) ini? Dia menjawab bahwa sukses itu proses, bisa panjang dan berliku, berisi tantangan yang berat. Baginya, cara cepat atau langsung untuk menjadi sukses tidak ada. Dengan kata lain, dia tidak percaya – karena tidak mengalami – bahwa produk (sukses) bisa diraih melalui proses yang pendek (cara cepat atau langsung).

“Orang yang secara sukses cerdas mempunyai orientasi pada hasil.”

Mengatasi kegagalan dan kekecewaan

Waktu Tukul menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta 1985, dia sudah mempunyai impian mau jadi apa dia nanti: orang sukses dan terkenal. Tapi dia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang apakah kehidupan sehari-harinya akan baik dan buruk. Kisah selanjutnya menunjukkan betapa ketidakpastian ini mengakibatkan dia mengalami kegetiran hidup, berbagai kegagalan dalam meraih cita-citanya dan kekecewaan yang dalam yang dialaminya. Tapi dia mampu mengatasi semua kegagalan dan kekecewaan itu dengan kesabaran dan ketekunan dan akhirnya mencapai impiannya.

“Orang yang secara sukses cerdas tidak takut menghadapi risiko kegagalan.”


Berbagi ilmu dengan orang lain
Sesudah menjadi OKB, dia pun menerjemahkan pikiran lain menjadi tindakan. Dari pengalaman hidupnya dengan Joko Dewo dan Tony, dia datang pada kesimpulan bahwa hidup itu berbagi kepedulian dengan orang lain. Sesudah menjadi OKB, kesadarannya yang dalam tentang makna solidaritas ini tetap hidup. Tentang hakekat hidup ini, dia berkata: “Untuk menjadi besar harus mau membesarkan orang lain. Dengan demikian, Anda akan menjadi besar. Jangan sebaliknya, untuk menjadi besar malah dengan cara mengecilkan orang lain.” Dia tidak asal berbicara saja; dia bertindak. Dia lalu membuka Posko Ojo Lali di rumahnya. Dia menampung di situ kawan-kawan seniman yang mempunyai potensi untuk berhasil, untuk mencapai sukses dan ketenaran melalui kreativitas, diberi kesempatan untuk berproses agar mandiri. Untuk menolong mereka bertahan hidup di Jakarta, dia membelikan untuk mereka sejumlah sepeda motor yang bisa mereka pakai untuk ngojek atau untuk kebutuhan lain.

Untuk memberi mereka peluang untuk berhasil melalui kreativitas, Tukul menempuh beberapa cara. Dia ngobrol dengan mereka, layaknya seorang kakak kepada adik, tentang kiat-kiatnya dan kiat-kiat atau tip-tip lain tentang sukses.

Dia melihat tindakan berbagi ilmu sebagai bagian dari keberhasilannya sendiri. “Kalau kamu memudahkan pintu rezeki orang lain maka rezekimu akan dimudahkan,” katanya.

“Orang yang secara sukses cerdas mencari untuk dirinya dan orang lain tugas-tugas yang memberi peluang kreativitas.”

Mencari dan menjadi panutan
Kisah sukses Tukul menunjukkan bahwa dia mencari panutan melalui buku-buku yang dibacanya dan pada artis-artis lawak tenar, seperti Tarzan dari Srimulat. Sesudah dia sendiri menjadi tenar, dia menjadi panutan bagi kawan-kawannya yang ingin juga menjadi seniman yang berhasil seperti dia di Jakarta.

“Orang yang secara sukses cerdas secara aktif mencari, dan kemudian menjadi, panutan
(role models).”

Menjadi pembentuk tren
Dalam kasus Tukul, dia tidak menentang publik dalam arti berdemonstrasi atau berkelahi melawan mereka atau mengkritik mereka. Dia menjadi pembentuk tren melalui peluang yang membuka pintu kesuksesan luar biasa baginya. Peluang itu adalah keterlibatannya dalam acara Empat Mata.

Acara ini membalikkan semua konsep pertelevisian di Indonesia. Sebelum Tukul menjadi host acara ini, pembawa acara talk show sebelumnya tampan atau cantik dan cerdas. Tukul membalikkan semua persyaratan ini. Dia tidak ganteng, pertanyaannya dibantu sebuah laptop yang dikendalikan tim Empat Mata, dan kata-katanya yang jujur dan cerdas memancing tawa pemirsa. Suatu cap lain yang mengakibatkan dia menjadi seorang pembentuk tren adalah gaya beraksinya di panggung. Ini khas dirinya dan dimiliki sedikit pelawak lain. “Hampir semua gerakannya memiliki arti dan makna,” Ahmad Bahar menambahkan. Dia memperkuat posisinya sebagai pembentuk tren juga dengan kemampuannya menciptakan 29 kosakata informal – kata, frasa, singkatan, atau kalimat bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa karangannya sendiri – yang jadi populer di kalangan pemirsa. Ahmad Bahar melampirkan kosakata ini di akhir bukunya dengan judul “Ensiklopedia Tukul”, semacam leksikon atau kamus prokem Tukul. Barangkali, ini untuk pertama kalinya seorang pelawak Indonesia mampu memperkaya bahasa Indonesia melalui sumbangan kosakata Indonesia khasnya.

“Orang yang secara sukses cerdas membeli dengan harga yang rendah dan menjual dengan harga yang tinggi. Mereka menentang publik dan, akhirnya, mampu memimpinnya.”

Memakai kecerdasan analitik, kreatif, dan praktis
Kiat-kiat dan tip-tip suksesnya menunjukkan sisi analitik dari kecerdasannya untuk sukses. Sebagian petuah atau kiat untuk sukses berdasarkan analisis Tukul tentang pengalaman hidupnya di masa lampau sudah diberikan melalui kutipan kata-katanya sendiri. Dia juga mempunyai tip-tip tentang sukses. Ini membentuk pengetahuan praktis, pengetahuan tentang tahu-bagaimana (know-how), yang dengan rela hati dia bagi dengan teman-teman calon seniman yang ditampungnya di Posko Ojo Lali. Dengan gaya ngobrol, Tukul mengajarkan kepada mereka cara memperkenalkan diri, mempertahankan kesuksesan, bergaul dengan orang, dan hal-hal lain yang bisa dijadikan bekal untuk sukses.

Sisi kreatifnya bisa dilihat dari kemampuannya melawak dan menjadi host di televisi. Dia mampu berimprovisasi dan menciptakan suasana komikal atau menggelikan yang membuat pemirsa tertawa.

Sisi praktisnya diketahui dari kiat-kiat atau siasat-siasat dan tip-tip, petunjuk-petunjuk praktis, yang disebutkan dalam buku tentang riwayat hidupnya. Semuanya praktis dan mencerminkan kearifan yang dia peroleh dari pengalaman hidupnya, termasuk dari kegemarannya membaca buku dan mendengarkan nasihat orang lain.. Dengan kata lain, dia menerjemahkan gagasan-gagasan tentang sukses berdasarkan pengalaman hidupnya menjadi operasional.

Tapi saya belum bisa memastikan apakah Tukul memberi perimbangan yang baik pada ketiga aspek kecerdasan untuk sukses ini. Penelitian lebih jauh bisa memberi kepastian ini.

“Orang yang secara sukses cerdas menjaga perimbangan antara pemikiran analitik, kreatif, dan praktis.”

Jenis Kecerdasan Lain

Semua asas dan ciri kecerdasan untuk sukses – termasuk kecerdasan analitik, kreatif, dan praktis – masih belum mencakup beberapa segi dari kecerdasan Tukul. Dia sering menyiratkan afeksi dan nilai-nilai dasar sebagai faktor-faktor lain yang ikut membuatnya sukses dan terkenal.

Prof. Robert J. Sternberg tidak secara khusus memasukkannya ke dalam asas-asas dan ciri-ciri kecerdasan untuk sukses. Tapi dia memberikan info tentang kecerdasan yang terikat kepada kebudayaan. Kecerdasan dengan orientasi macam ini bisa menampung afeksi dan nilai-nilai dasar yang disebutkan tadi. Kemungkinan lain adalah dengan menampung afeksi dan nilai-nilai dasar tadi dalam konsep kecerdasan emosional atau spiritual.

Afeksi di balik kesuksesan Tukul
Dalam tip-tip suksesnya, Tukul menyebutkan kebaikan hati, rasa syukur pada hasil jerih-payah, dan kerendahan hati sebagai landasan afektif dari keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Karena menyadari dirinya tidak tampan, dia lebih banyak mengandalkan sifat-sifat baik dalam dirinya untuk sukses. Terhadap mereka yang menilainya jelek dari luar dan mengabaikan keindahan dari dalam dirinya, Tukul membalas: “Jelek luarnya, tapi di dalamnya wouw, my heart is good.” Sifat-sifat baik apakah yang dia andalkan untuk sukses? Ketekunan, kerja keras, kejujuran, pantang menyerah, berbaik sangka pada orang, tabah, sabar, berbuat baik kepada semua orang, hidup sederhana, tidak merugikan orang lain, dan lain-lain. Kemudian, rasa syukur pada hasil jerih-payahnya artinya menerima dengan rasa terima kasih “rezeki” yang diterimanya. Katanya: “Rezeki nggak boleh ditolak. Kalau kamu nolak rezeki, rezeki ngomong dengan bahasa rezeki. Biar rezeki lain juga nolak kamu.” Akhirnya, kerendahan hati Tukul menunjukkan bahwa dia menyadari kesementaraan sukses dan ketenarannya dan kekurangan yang ada pada dirinya. “Harta, kekayaan, popularitas itu hanya titipan,” dia menjelaskan. “Tidak ada yang perlu dibanggakan.” Dia juga rendah hati karena dia sendiri tidak bisa membanggakan dirinya yang tidak ganteng.

Ke jenis kecerdasan manakah afeksi Tukul ini bisa dimasukkan? Suatu kemungkinan adalah memasukkannya ke dalam kecerdasan emosional yang dikembangkan Daniel Goleman dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence. Buku ini berisi penyelidikan tentang komponen emosional dari kecerdasan, yaitu, tentang bagaimana perasaan memengaruhi pikiran dan bagaimana menanganinya.

Konsep nzelu

Bisa juga afeksi yang diungkapkan Tukul tadi menyiratkan suatu konsep budaya, khususnya nilai-nilai budaya yang dihormati umum, dari kecerdasan. Nilai-nilai budaya ini bisa bersumber pada agama Islam yang dianut Tukul atau pada sumber-sumber lain di luar agamanya. Mengingat Tukul seorang Jawa, ada kemungkinan afeksi yang ditunjukkannya ikut dipengaruhi afeksi khas orang Jawa, seperti yang bisa kita amati dari tata krama orang Jawa.

Seperti yang sudah dikatakan, salah satu tema umum dari kecerdasan adalah bahwa kecerdasan suatu bangsa atau komunitas seperti suatu kelompok etnik terikat pada kebudayaannya. “Bahasa, warisan turun-temurun, kebutuhan, dan kepercayaan suatu masyarakat bergabung untuk membentuk suatu pemahaman tentang kecerdasan yang cocok secara budaya,” Prof. Robert J. Sternberg menjelaskan.

Dia memberi suatu contoh yang sangat menarik dan relevan dengan tema umum ini ketika dia membahas konsep nzelu dari suku Chi-Chewas di Zambia, suatu negara di Afrika. Meski konsep ini mirip dengan konsep kecerdasan Barat, ia berbeda dalam banyak cara yang penting dengan konsep kecerdasan Barat. Konsep kecerdasan Barat berkiblat pada kecerdasan kognitif sementara konsep nzelu tampaknya mencakup “dimensi kearifan, kepintaran, dan tanggung jawab dalam konteks budaya Zambia.” Jadi, anak-anak Zambia, dibanding anak-anak Barat, belajar untuk menghargai konsep kecerdasan yang lebih luas dan diperkirakan akan menunjukkan jangkauan perilaku yang lebih luas yang bisa disebut kecerdasan dalam kebudayaannya.

Sternberg mengatakan nzelu mencakup beliefs – kepercayaan – tapi tidak menyebut religion – agama. Istilah pertama bisa berarti sesuatu yang kita percayai, terutama sebagai bagian dari agama kita. Kata kedua umumnya berarti kepercayaan akan adanya tuhan atau dewa-dewi, dan kegiatan yang berhubungan dengan penyembahannya. Ia juga bisa berarti suatu sistem iman yang didasarkan pada kepercayaan akan adanya tuhan atau dewa-dewi khusus. Dalam arti ini, iman bagian dari kepercayaan khusus. Dalam agama-agama monoteistik, tuhan itu ditulis dengan huruf t besar: Tuhan. Jadi, kepercayaan menurut pemahaman tadi bisa menjadi bagian dari agama.

Kalau secara longgar kepercayaan kita sebut sebagai agama, maka nilai-nilai religius menyiratkan kepercayaan dalam konsep nzelu. Nilai-nilai ini melandasai kecerdasan spiritual.

Dalam hubungan ini, afeksi Tukul yang bisa saja dibentuk oleh nilai-nilai religius dan nilai-nilai budaya Jawa memperluas pemahaman kita tentang kecerdasan. Tukul tidak saja memiliki kecerdasan untuk sukses; dia juga memiliki kecerdasan yang lebih luas – kecerdasan yang terikat kepada kebudayaan bangsa Indonesia, khususnya kelompok etnik Jawa, terutama penganut Muslim.

Tema umum tentang kecerdasan yang terikat pada kebudayaan suatu bangsa atau komunitas, seperti yang diperjelas melalui konsep nzelu, bisa menjelaskan tip-tip sukses lain dari Tukul. Tip-tip ini mengacu pada nilai-nilai religius sebagai pedoman praktis untuk meraih sukses. Nilai-nilai itu adalah kerja keras dan jujur, sikap menghargai orang lain, dan kualitas ibadah. Tampaknya, pengalaman hidupnya sebelum menjadi OKB menuntunnya dengan satu dan lain cara menemukan nilai-nilai religius sebagai sumber kearifannya untuk meraih sukses dan ketenaran. Kalau memang demikian, Tukul menunjukkan bahwa konsep kecerdasan yang terikat pada kebudayaan suatu bangsa atau komunitas bukan saja benar melainkan juga memperluas konsep kecerdasan itu sendiri.

Apa Kecerdasan Tukul Riyanto Renaldy Arwana?

Sejauh yang kita pahami tentang kecerdasannya, Tukul memiliki kecerdasan yang baik. Sebagian dari kecerdasannya, menurut kleim beberapa orang, bersifat kognitif. Sesuai dengan tujuan tulisan ini, dia juga mempunyai – sampai batas tertentu – kecerdasan untuk sukses. Sebagian asas dan ciri-ciri kecerdasan untuk sukses bisa ditemukan pada kecerdasannya. Selain itu, dia diperkirakan mempunyai kecerdasan emosional dan spiritual. Dalam tema umum tentang kecerdasan yang terikat pada kebudayaan, dia juga menunjukkan kecerdasan jenis ini. Jadi, konsep kecerdasan yang lebih luas dari IQ dan kecerdasan untuk sukses bisa ditemukan dalam kisah sukses Tukul.


Kecerdasan yang lebih luas dari sekadar kecerdasan utntuk sukses karena menyiratkan juga nilai-nilai bukan hal baru. Albert Einstein, ilmuwan jenius abad ke-20 itu pun, malah tidak sepakat kalau kecerdasan dibatasi saja pada sukses. Majalah Life (terbitan di Amerika Serikat) 2 Mei 1955 mengutip kata-kata bijaknya kepada generasi muda AS: “Try not to become a man of success, but rather try to become a man of values (Janganlah mencoba menjadi seseorang yang memiliki sukses, tetapi lebih dari itu cobalah menjadi seseorang yang memiliki nilai-nilai).” Kecerdasan Tukul Arwana sudah mencakup tidak saja sukses tapi juga nilai-nilai.

0 komentar: