BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 07 Januari 2010

Tukul Arwana Punya Kecerdasan untuk Sukses? (5)

II


TUKUL ARWANA: DARI MISKIN MENJADI OKB


Kiat-kiat sukses Tukul Arwana lebih gampang dipahami kalau kita memahami juga riwayat hidupnya. Jalan hidupnya, dari orang miskin sampai menjadi OKB (Orang Kaya Baru), menunjukkan pengaruh pada petuah-petuah suksesnya, termasuk bermacam-macam tipnya, kemudian hari.

Masa Menjadi Anak Angkat
Tukul Riyanto lahir di Desa Perbalan, Purwosari, Semarang, 16 Oktober 1963 dari pasangan Sutimah, ibunya, dan Abdul Wahid, ayahnya. Dia anak ketiga dari empat bersaudara: Siti Rondiyah, Anik Khowiyah, Tukul Riyanto, dan Suhadi alias Bendel. Keluarga yang orang tuanya penjahit itu miskin dan tinggal di lingkungan desa yang miskin.

Di balik nama Tukul terkandung harapan orang tuanya. Thukul, suatu kata bahasa Jawa, berarti tumbuh, tumbuh dari bawah ke atas. “Itulah harapan mulia orang tua saya terhadap kehidupan saya,” kenang Tukul. “Kalau sekarang orang lebih nyaman memanggil saya Tukul – bukan Thukul – ya tidak menjadi masalah bagi saya.”

Tapi sejarah perjalanan hidupnya akan menunjukan bahwa harapan orang tuanya akan dilalui lebih dahulu melalui perjuangan yang panjang dan berat dari puteranya. Perjuangan itu sudah mulai sejak kecil sebagai seorang anak desa lalu sebagai seorang lelaki dewasa yang untuk beberapa tahun tidak dikenal banyak orang di Jakarta tapi yang berjuang untuk meraih sukses.

Seperti anak desa lainnya, Riyanto kecil seorang anak yang lugu, lincah, dan suka bermain-main bebas dengan teman-teman seusianya. Mereka bermain di tempat lumpur, memburu kepiting, dan bermain di sungai.
Bakat melawak Tukul sudah mulai kelihatan waktu dia masih anak desa. Waktu itu, teman-teman sepermainannya mengenal hobi suka membanyol dari Riyanto. Hobinya akan membuat Riyanto mempunyai banyak teman dan disukai banyak kalangan.

Sejak usia 5 bulan, Tukul Riyanto menjadi anak angkat keluarga. Suwandi, tetangga orang tua Tukul, tinggal tidak jauh dari rumah mereka. Pengangkatan ini tidak terjadi secara tiba-tiba tapi makan waktu. Keluarga Suwandi menikah cukup lama tapi belum dikaruniai seorang anak. Mereka menerima Tukul sebagai anak melalui perhatian dan kasih-sayang pada bayi Tukul. “Setiap kali ‘Tukul bayi’ menangis, ia langsung diam begitu digendong oleh pasangan Suwandi,” tulis Bahar. Lama-kelamaan, ini menjadi kebiasaan. Waktu Suwandi ingin Tukul menjadi anak angkatnya, orang tua Tukul tidak keberatan karena mereka sendiri mempunyai empat anak.

Meski anak angkat, Tukul mendapat kasih sayang orang tua angkatnya. Keluarga Suwandi mencukupi kebutuhannya. Keluarga Suwandi tergolong orang kaya di kampungnya waktu itu. Pak Suwandi sehari-hari bekerja sebagai mandor satu perusahaan di Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Mereka juga sudah memiliki apa yang belum dipunyai banyak orang kampung waktu itu: sepeda motor dan televisi, lambang orang kaya di kampung. Karena ada televisi, rumah keluarga Suwandi menjadi ramai dengan orang-orang kampung yang datang untuk ikut menonton acara di televisi.

Masa sekolah Tukul dilewati dengan tamat SD Purwogondo Purwosari, SMP Muhammadiyah di Indrapasta, dan SMA Ibu Kartini – semuanya di Semarang. Ada beberapa tahapan perkembangan berarti dalam kehidupan Tukul yang akan ikut memengaruhi masa depannya di tiga tingkatan sekolah ini.

Sifat nyeleneh si Tukul kecil sudah tampak di SD. Bertelanjang dada dan memakai hanya celana kolor di sekolah bukan aturan di sekolah. Tapi si Tukul kecil melakukannya meski ditegur beberapa kali. Teguran itu tidak dia hiraukan karena dia merasa sangat menikmati keadaannya dengan bertelanjang dada.

Waktu remaja, wajah khasnya mulai kelihatan jelas. Mimiknya lucu. “Mungkin saking seringnya ia melucu, maka mimik wajahnya pun terbawa lucu,” tulis Bahar. “Ia selalu mengundang tawa bagi lawan bicaranya.”
Meskipun demikian, akar pedesaannya tidak hilang pada masa remajanya. Tukul itu “remaja lugu, jujur, dan tidak neko-neko,” tulis Ahmad Bahar.

Wajahnya yang khas menunjang bakatnya untuk melawak. Tampang dan bakat Tukul ini mulai kelihatan waktu dia di SMP. Dia beberapa kali tampil melawak pada berbagai kesempatan. Modal ini akan menjadi suatu pembuka pintu suksesnya di Jakarta kemudian hari.

Masa sulitnya yang akan menjadi motor penggerak keinginannnya untuk berubah mulai waktu dia di kelas tiga SMP. Pasangan Suwandi, orang tua angkat Tukul, mulai mengalami kesulitan ekonomi. Tukul ikut merasakan kesulitan ekonomi orang tua angkatnya. Orang tua angkatnya yang tidak lagi mampu membayar biaya sekolahnya terpaksa menjual semua ayam dan piring di rumah untuk membayar uang sekolahnya. Akhirnya, rumah keluarga itu pun dijual.

Puncak masa kesulitan ini terjadi waktu Tukul sudah di SMA. Karena kesulitan ekonomi belum juga bisa diatasi, keluarga Suwandi membuat keputusan yang akan mempunyai pengaruh kuat pada Tukul di masa depan. Orang tua angkatnya akhirnya tidak mampu lagi membayar biaya sekolah Tukul. Tunggakan biaya sekolah timbul dan berlangsung beberapa bulan. Tukul terancam putus sekolah. Kepada Pak Sutrisno, seorang gurunya, Tukul mengatakan dia ingin berhenti sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah.
Beruntung para guru memberi jalan ke luar untuk Tukul sesudah tahu alasan permintaannya untuk berhenti sekolah. Mereka mengambil keputusan: Tukul boleh menyelesaikan sekolahnya. Keputusan ini memberinya semangat untuk meneruskan sekolahnya sampai tamat.

Lalu, bagaimana dengan tunggakan biaya sekolahnya? Tukul mengatasinya dengan inisiatif sendiri. Sambil bersekolah, dia meluangkan waktu lowong dengan “kerja serabutan untuk mencari tambahan biaya sekolah” dan uang makan-minumnya. Tidak selalu gampang untuk mendapat uang yang cukup. Sering dia ke sekolah dengan hanya mengantongi seratus rupiah, jumlah uang yang terlalu sedikit untuk ongkos pulang pergi naik angkutan umum.

Kemudian, mengapa para guru SMA Ibu Kartini itu tidak rela menyaksikan Tukul berhenti bersekolah? Tukul mengatakan dia bukan siswa dengan prestasi kelas yang menonjol. Tapi bakat melawaknya yang sudah kelihatan sejak SMP ikut membawa keharuman nama sekolahnya. “Beberapa kali Tukul mengikuti lomba lawak dan sering menggondol juara,” tulis Bahar. Barangkali, karena jasa Tukul membawa nama harum sekolahnya dia diizinkan melanjutkan sekolahnya sampai selesai.

Pasca SMA di Semarang
Sesudah tamat SMA, Tukul yang sewaktu bersekolah bekerja serabutan sekarang harus menghidupi dirinya sendiri. Pekerjaannya nanti mempertemukannya dengan orang-orang yang akan menjadi penuntun hidup dan teman akrabnya.

Mula-mula, dia bekerja di bidang angkutan umum di Semarang. Dia pernah menjadi kernet angkutan kota (angkot) jurusan Johar-Panggung selama beberapa bulan, sopir angkot jurusan yang sama selama dua tahun, supir truk elpiji di Tanah Mas, lalu kembali lagi menjadi sopir angkot. Ketika bekerja sebagai seorang sopir angkot pertama kali itulah Tukul mengajak sahabat karibnya, Gus Tanto, bekerja sebagai kernetnya; nanti Gus Tanto menjadi guru spiritualnya sesudah Tukul menjadi orang tenar. Dia bahkan ngamen bersama teman karibnya, Tony Rastafara, di kereta dari Semarang ke Kaliwungu, Kendal. Tony memainkan gitar, Tukul menyanyikan lagu-lagu Doel Sumbang.

Di luar dari pekerjaannya sehari-hari, Tukul mencoba keberuntungannya dalam seni lawak. Dia sering mengikuti berbagai lomba lawak tingkat Kabupaten Semarang dan Propinsi Jawa Tengah, entah sebagai pelawak tunggal atau berpasangan dengan beberapa kawannya seperti Suharno, Slamet, dan Sutrisno. Sering Tukul juara lomba-lomba lawak itu dan bahkan juara satu lomba lawak tingkat propinsi Jateng. “Kemenangan ini sering dirayakannya dengan makan-makan bersama teman-temannya,” tambah Bahar. Juara lomba lawak ini antara 1979 dan 1983.

Ada lagi kisah kerja serabutan Tukul sebagai sopir, kisah persiapan mental baginya sebelum sukses di Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai sopir pribadi Alex Sukamto. (Sayang, Ahmad Bahar tidak menyebutkan di kota mana Alex tinggal. Tapi dari info lain yang ada di buku itu bisa diperkirakan bahwa mantan juragan Tukul itu tinggal di Semarang.) Mantan majikannya heran “seorang sopir seperti Tukul ternyata mempunyai hobi membaca buku. Lebih mengherankan lagi, buku-buku yang dibacanya . . . tentang psikologi, politik, dan lain-lain.” Alex bercerita buku itu dibeli Tukul dengan menyisakan gajinya sebagai sopir. Semangat belajar Tukul memang tinggi karena dia menyadari suatu rahasia keberhasilannya bergantung pada info yang berguna bagi orang dari keluarga yang tidak mampu seperti dia. Keputusan ini ternyata akan menolongnya untuk meraih sukses di Jakarta.

Hubungan Tukul dengan Alex Sukamto saling mengisi dan melengkapi. Selama menjadi sopir Alex, Tukul belajar banyak petuah tentang “strategi menjalani hidup.” Sebaliknya, Tukul, menurut Alex, seorang pekerja yang baik dan jujur, hampir tidak pernah membuatnya kecewa. Dia juga sering melawak sampai membuat suasana dalam kendaraan mantan juragannya “selalu segar dan gembira.”

Akhirnya, dia memutuskan untuk hijrah ke Jakarta tahun 1985 karena beberapa sebab. Pertama, dia ingin sukses dan terkenal dan keinginan itu sulit diraih di desanya. Jakarta itulah tempat impiannya bisa draih sehingga bisa menjadi sukses dan terkenal. Kedua, dia ingin ke Jakarta untuk melupakan patah hatinya karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Ketika menjadi remaja, Tukul dua kali jatuh cinta pada dua gadis yang berbeda di Semarang. Pertama kali, dengan gadis tetangga kampungnya berinisial Z dan yang kedua, dengan gadis berinisial S. Tapi keinginannya pacaran dengan masing-masing gadis gagal karena keluarga pacarnya sangat menolak Tukul. Ipong, seorang karib Tukul yang tahu betul hubungan cinta Tukul ini, mengatakan, “Keluarga pacarnya itu tidak setuju dengan Tukul. Selain wajahnya jelek, Tukul itu kere, ndak punya apa-apa.” Ahmad Bahar menambahkan akibat menyedihkan dari penolakan itu pada Tukul: “Karena patah hati, Tukul akhirnya merantau ke Jakarta.” Ketiga, dia diajak Joko Dewo, seorang temannya di Jakarta, untuk pindah ke sana.

Malam yang Terasa Panjang di Jakarta
Joko Dewo, sahabat dan rekan sekolah Tukul, sudah duluan pindah ke Jakarta. Untuk sebab-sebab yang sudah disebutkan, Tukul pun ingin ke Jakarta. Dewo mendorong keinginan Tuwul dengan mengirimkan surat yang disertai uang 30 ribu rupiah. Itu ongkos angkutan Tukul ke Jakarta.

Tahun 1985, Tukul Arwana berangkat ke Jakarta. Dia menumpang di rumah kontrakan Tony, seorang temannya yang lain, dan Joko di kawasan Blok S, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Waktu pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, dia belum mempunyai gambaran jelas tentang apakah kehidupan sehari-harinya akan baik atau buruk. Dia “tidak pernah berpikir akan bekerja apa. Apakah bisa memiliki rumah atau mobil, apakah bisa hidup layak dan menyekolahkan anak seperti kehidupan orang-orang Jakarta lainnya?”

Kedua temannya bukan orang berada, tapi mereka menunjukkan rasa solidaritas yang kuat terhadap Tukul. Tony dan Joko “telah lebih dahulu merasakan pahit getirnya hidup di Jakarta”, tulis Ahmad Bahar. Meskipun begitu, mereka berdua bersedia memberi bantuan supaya Tukul bisa mendapat makanan sebelum bisa mempunyai penghasilan sendiri. Tapi kedua teman Tukul ini tidak setiap hari memberi makan Tukul; ada kalanya, mereka cuma memberi pinjaman padanya supaya dia bisa membayar makanannya. Kalau makan di rumah kontrakan, mereka tidak selalu makan tiga kali sehari. Makan pagi bisa jam sebelas siang, makan siang jam sebelas malam sesudah mereka pulang kerja. Masa awal Tukul di Jakarta memang berisi “kegetiran hidup” yang sangat membekas di hatinya.

Selain di rumah kontrakan, Tukul juga makan tanpa bayar di warung. Di warung sebelah rumah kontrakan temannya, dia terkadang berutang untuk waktu yang cukup lama. Dia tidak mempunyai uang untuk membayar tagihan. Terpaksa, dia diam-diam pindah makan dari warung lain ke warung lainnya dan membuat utang lagi yang tidak bisa dibayarnya. Tulis Bahar, “Bila sudah demikian, maka ia menjadi bingung harus lewat jalan yang mana lagi untuk pergi ke luar rumah agar tidak melewati beberapa warung yang telah memberi piutang kepadanya.”

Akhirnya, Tukul mengakibatkan lingkungan tetangga di Blok S menjadi kurang bersahabat lagi dengan dia. Dia sering utang di sebuah warung di pinggiran lapangan Blok S, di depan Oru, nama sebuah tempat hiburan, karena waktu itu dia “sedang susah banget.” Apa reaksi orang terhadap kebiasaan utangnya? “Banyak orang yang mencibir dan juga tidak sedikit yang mencemoohnya,” Bahar menjelaskan. “Banyak juga orang yang enggan ketemu Tukul sebab mereka takut jika dijadikan sasaran untuk berutang.”

Andaikan harapannya untuk mendapat job dan penghasilan teratur menjadi nyata, dia seharusnya bisa menebus utang-utangnya yang mengakibatkan lingkungan tetangga kurang simpatik padanya. Tapi pekerjaan tetap belum ada. Kalau belum punya pekerjaan tetap sementara tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari belum terpenuhi, apa yang bisa dia dapatkan dari hanya berharap saja?

Untung Tukul memiliki pikiran realistis. Dia lalu mengambil keputusan untuk “bekerja apa saja alias serabutan.” Dia lalu menjadi sopir pribadi, membantu pembuat sumur pompa dengan tugas memegang pipanya, dan bekerja di video shooting dengan tugas memegang kabelnya.

Tentu pekerjaan serabutannya hanya sampingan karena keinginan utama dia supaya bisa dipekerjakan dengan bayaran yang tetap di dunia lawak. Tapi menunggu datangnya apa yang disebutnya “job” itu ibarat menunggu terbitnya matahari sesudah suatu malam penantian yang membuat saraf tegang dan rasa bosan yang lebih panjang dari biasanya.

Timbullah suatu krisis batin yang ditanggapi Tukul secara menggelikan. Saking lamanya menunggu job, Tukul merasa bete, boring total: “sangat bosan dan jenuh pikirannya.” Untuk mengatasinya, dia ngerjain dirinya sendiri. Dia pergi ke wartel, menyampaikan pesan ke pager miliknya di rumah kontrakan. Isi pesan: ada panggilan job untuk Tukul. Pagernya lalu berbunyi di rumah kontrakan dan dibaca teman-temannya. “Kontan saja, teman-teman serumah geli menertawakan tingkah Tukul ini.”

Memang dia mengalami kesulitan hidup tapi ini tidak mengakibatkan semangat hidupnya patah. Bakat melawaknya di Semarang tetap disalurkannya di Jakarta. Dia tampil dalam kelompok lawak Purbaria yang pernah dirintis Joko Dewo. Grup ini sering meraih gelar juara dari berbagai lomba lawak yang mereka ikuti di Jakarta. Kelompok lawaknya pernah juara Lomba Lawak Mini Kata, Lomba Lawak se-DKI, dan Lomba Lawak se-Jabotabek.

Dengan kinerja lawak seperti ini, Tukul berharap bisa mendapatkan mata pencaharian yang tetap di bidang lawak untuk membuat kehidupannya di Jakarta lebih baik. Seperti ketika dia dan Joko juara Lomba Lawak Mini Kata Nasional di Balai Sidang, Jakarta, 1985. Dengan kemenangan ini, Tukul berpikir dia akan terkenal secara nasional dan – yang sangat penting – “kebanjiran order.” Tapi tidak satu pun koran yang dia beli menyebutkan kemenangan dia dan Joko dan tidak ada satu pun panggilan job yang segera sampai di telinganya.

“Perasaan sedih dan trenyuh tentu dia rasakan sangat dalam,” tulis Ahmad Bahar. Keadaan jiwa seperti ini baru awal dari berbagai kegalauan yang akan dia alami. Dalam keadaan belum sukses di Jakarta, dia sepertinya akan menyerah pada tantangan yang begitu berat di ibu kota. Mimpinya untuk menjadi orang sukses dan terkenal tampaknya akan tinggal mimpi saja.

Sesudah kecewa karena kejuaraannya dalam lawak mini-kata tidak membuka jalan untuk meraih cita-citanya, dia pulang kampung. Tanpa membawa lambang-lambang sukses orang Jakarta – “mobil dan penampilan oke.” Seperti apa Tukul yang pulang kampung? “. . . . badan kurus kering dengan langkah yang seperti melayang.”

Belum lagi masalah utangnya dibereskan supaya lingkungan tetangga bisa menerimanya kembali, Tukul mengalami kekecewaan lain. Tahun 1994, banyak pelawak muncul di Radio SK (Suara Kejayaan); Tukul berpikir dia, seorang pelawak, bisa mendapat job juga di radio amatir ini. Tapi dia harus gigit jari. Pengelola Radio SK mengajukan syarat yang sulit atau mustahil dia penuhi. Dia harus memiliki ijazah minimal D3 – Diploma 3 – dan mampu melawak dengan gaya modern. Karena dia tidak mempunyai ijazah ini dan lawakannya dinilai tradisional, dia “harus rela menelan kekecewaan kembali.”

“Roda kehidupan telah ia jalani. Kisah sedih, pahit, suka ataupun gembira semuanya . . . silih berganti menghiasi kehidupannya.” Kapan subuh sukses yang dia rindukan itu jelang? Kapan matahari hidupnya akan terbit?

Dalam kegalauan yang sepertinya belum reda ini, Tukul yang akan berusia 32 tahun pada tahun 1995 ingin berkeluarga. Usianya sudah lebih dari matang untuk berkeluarga dan dia memutuskan untuk mencari pendamping hidupnya. Pilihannya jatuh pada Susiana, seorang gadis berdarah Minang yang dia kenal pada acara pernikahan seorang kawannya. Tukul sadar dia tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tidak mau mengecewakan Susiana kalau dia mau jadi isterinya. Karena itu, dia menanyakan Susiana apa mau kawin dengan dia. Meski belum tahu apa akan menjadi orang sukses atau tidak, Tukul “siap bertanggung jawab dan siap menjadi suami yang baik.” Susiana yang tampaknya bukan “gadis matre”, gadis yang ingin calon suaminya mempunyai harta banyak, menerima Tukul apa adanya.

Ketika masih pacaran, Tukul ingin membeli sepeda motor tapi uangnya tidak cukup. Dia mempunyai 800 ribu rupiah dan masih butuh 500 ribu lagi. Susiana mengambil tabungannya sebesar jumlah yang kurang itu dan Tukul bisa membeli sepeda motornya.

Tahun 1995, mereka berdua memutuskan untuk menikah dan membangun rumah tangga. Tukul berusia 32 dan Susiana 26 tahun.

Tapi sampai dengan persiapan untuk menikah dan masa awal mereka membina rumah tangga, kehidupan Tukul belum juga cerah. Beberapa saat sebelum hajatan untuk menikah diadakan, Tukul kebingungan karena tidak ada biaya untuk menggelar pesta hajat. Dalam keadaan terpaksa dan sesuai persetujuan Susiana, dia menggadaikan sepeda motornya. Lalu setahun sesudah menikah, kehidupannya belum juga lepas dari kesulitan. Sekali dia tidak mempunyai penghasilan dan terpaksa menjual barang berharga, termasuk cincin. Tukul “sebenarnya merasa sangat terpukul, tetapi ia bersyukur dapat menghadapinya dengan realistis.” Menjelang Lebaran ketika isterinya hamil, dia terpukul lagi oleh berita yang tidak terduga. Dia mendapat surat tertulis dari manajemen Srimulat yang ditandatangani Kadir bahwa dia diberhentikan sebagai bintang tamu dalam kelompok lawak Srimulat. Tanpa disadari Tukul, badannya “sempat gemetaran mendengar kabar ini.”

Meski mengalami kehidupan berkeluarga yang masih belum lepas benar dari himpitan hidup, Tukul membuat keputusan yang tepat ketika dia menikah dan membentuk keluarga dengan Susiana. Ketika Tukul sudah ngetop, apa pandangannya tentang Susiana? “Dia sangat setia,” jawab Tukul. “Mulai dari tak punya apa-apa sampai bisa seperti ini, ia selalu mendampingi saya.” Susiana ternyata akan ikut memainkan peranan yang penting dalam kisah sukses suaminya.

0 komentar: