BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 10 Januari 2010

Tukul Arwana Punya Kecerdasan untuk Sukses? (7)

III

SUCCCESSFUL INTELLIGENCE TUKUL ARWANA?

Dalam bagian terakhir dari kisah sukses Tukul Arwana, saya akan membandingkan berbagai siasat atau kiat dan tip kesuksesan Tukul – tersurat dan tersirat – dengan asas-asas dan ciri-ciri terkait dari kecerdasan untuk sukses Sternberg. Apakah kisah sukses pelawak dan presenter ini cocok atau tidak cocok dengan, kurang, atau malah lebih dari asas-asas dan ciri-ciri kecerdasan untuk sukses dari Sternberg?

Sebelumnya, kita perlu tahu apa itu kecerdasan. Apa itu kecerdasan untuk aukses? Definisinya, menurut Robert J. Sternberg, akan membatasi pembicaraan kita.

Sebenarnya, kita bisa mengetahui kecerdasan untuk sukses Tukul kalau dia diuji melalui tes kecerdasan untuk sukses. Hasilnya akan ketahuan.

Akan tetapi, gagasan ini mungkin tidak gampang dilaksanakan. Bahan tesnya mungkin belum ada di Indonesia. Kalaupun ada, kita belum tahu apakah Tukul mau mengikuti tes macam ini.

Karena itu, kita bisa memahami dia sejauh ini melalui perbandingan tadi. Mudah-mudahan perbandingan ini cukup mewakili kecerdasan untuk sukses dan kecerdasan jenis lain, kalau ada, dari Tukul.

Kecerdasan dan Kecerdasan untuk Sukses

Belum ada kesepakatan para pakar psikologi masa kini tentang teori kecerdasan. Tapi mereka sepakat tentang empat tema umum kecerdasan.

Apa keempat tema umum itu? Pertama, kecerdasan adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman. Ini berarti orang pintar sekalipun bisa dan memang membuat kesalahan. Tapi mereka belajar dari kesalahan dan tidak mengulanginya lagi. Kedua, kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan hidup di sekitarnya. Artinya, orang pintar sekalipun melangkah lebih jauh dari sekadar mendapat nilai bagus dalam tes atau angka rapor yang bagus di sekolah. Mereka juga mempunyai pengetahuan praktis tentang cara menangani suatu pekerjaan, bagaimana bergaul dengan orang lain, dan bagaimana mengelola kehidupannya dengan baik. Ketiga, kecerdasan adalah kemampuan metakognisi. Orang yang memiliki kecerdasan metakognitif mampu menunjukkan pemahaman dan pengendalian proses berpikirnya, seperti pemecahan masalah, penalaran, dan pengambilan keputusan. Keempat, kecerdasan terikat pada kebudayaan (culture-bound) suatu bangsa atau komunitas. Riset sudah menunjukkan kebudayaan yang berbeda mempunyai pemahaman yang berbeda tentang kecerdasan. Apa yang dipandang cerdas dalam satu kebudayaan bisa dipandang bodoh dalam kebudayaan lain, dan sebaliknya.

Lalu, apa itu kecerdasan untuk sukses, menurut Prof. Robert J. Sternberg? Itulah “jenis kecerdasan yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan penting.” Dia menjelaskan: “Orang yang berhasil, entah melalui standarnya atau entah melalui standar orang lain, adalah mereka yang sudah berhasil mencapai, mengembangkan, dan menerapkan suatu jangkauan lengkap dari ketrampilan intelektual lebih banyak dari hanya mengandalkan kecerdasan takgiat yang dinilai tinggi oleh sekolah. Individu-individu ini berpeluang atau tidak berpeluang lulus ujian-ujian konvensional, tapi mereka memiliki satu persamaan yang jauh lebih penting dari skor tes yang tinggi. Mereka mengenal kekuatannya, mereka mengenal kelemahannya. Mereka menggunakan kekuatannya; mereka mengimbangi atau membetulkan kesalahannya.”

Sternberg selanjutnya merinci tiga sisi kecerdasan untuk sukses. Seseorang disebut memiliki kecerdasan untuk sukses kalau dia berpikir dengan baik dengan tiga cara yang berbeda: analitik, kreatif, dan praktis. Ketiga sisi kecerdasan untuk sukses ini saling berkaitan dan harus dipakai secara berimbang.

“Kecerdasan untuk sukses paling efektif ketika ia mengimbangi ketiga aspek analitik, kreatif, dan praktisnya. Lebih penting untuk tahu kapan dan bagaimana menggunakan ketiga segi kecerdasan untuk sukses ini daripada hanya memilikinya. Orang yang secara sukses cerdas tidak hanya memiliki kemampuan tetapi juga memikirkan kapan dan bagaimana menggunakan kemampuan ini secara efektif.”

Dalam batas pagar-pagar kecerdasan dan kecerdasan untuk sukses tadi, kita akan mencoba menjawab pertanyaan yang sebagian ada pada judul bagian blog ini. Apa benar Tukul Arwana mempunyai kecerdasan untuk sukses?

Secara konsisten fokus pada impiannya

Tujuan Tukul ke Jakarta 1985 sudah diketahui sebelum dia berangkat dari Semarang. Dia ingin menjadi orang yang sukses dan terkenal. Keinginan ini adalah impiannya, cita-citanya.

Dia menyadari impiannya dan harapan akan meraihnya suatu waktu. “Hidup itu penuh mimpi,” katanya sesudah sukses, “siapa tahu suatu saat bisa kesampaian.”

Untuk mewujudkan cita-citanya, dia konsisten dengan fokusnya pada upaya untuk menggapai cita-citanya. Siasat atau kiat apakah yang dia pakai supaya tidak melenceng dari fokus dan sikap konsistennya ini? Dia berusaha fokus pada bidang lawak yang diimpikannya supaya bisa hidup di Jakarta. Tapi sewaktu-waktu ketika kesulitan hidup yang berat – seperti masalah makan-minum, pengeluaran harian untuk berbagai keperluan, dan ketidakpastian yang lama dalam menunggu datangnya job – membutuhkan pemecahan, Tukul “banting setir” dari bidang lawak, “hanya untuk menyambung hidup.” Sesudah masalah-masalah ini dipecahkan, dia kembali lagi ke bidang lawak.

Di awal perjuangan hidupnya untuk meraih cita-citanya, dia menghadapi banyak hambatan, di Semarang dan Jakarta. Di Semarang, dia orang miskin yang harus berjuang keras untuk bertahan hidup, termasuk menyelesaikan pendidikannya di SMA. Di awal kisah perjuangannya untuk menjadi sukses dan terkenal di Jakarta, dia mengalami ketidakpastian hidup yang besar, yang sering hampir saja membuyarkan impiannya. Hambatan-hambatan itu adalah masalah-masalah yang harus dia pecahkan.

“Orang yang secara sukses cerdas fokus dan memusatkan perhatian untuk mencapai tujuan-tujuannya”.

Memanfaatkan kekuatan dalam kelemahan/kekurangannya

Apa kemampuan atau potensi yang dimiliki Tukul? Dia sejak kecil diketahui mempunyai bakat melawak dan sebelum pindah ke Jakarta sudah tampil melawak berkali-kali di Semarang dan dalam lomba lawak tingkat propinsi Jawa Tengah. Riwayat hidupnya di Semarang dan Jakarta menunjukkan bagaimana dia berjuang memanfaatkan kemampuan ini sebaik-baiknya demi meraih impiannya: menjadi sukses dan terkenal. Menurut tuturan Tukul kepada Ahmad Bahar, dia menyadari pilihannya menjadi pelawak adalah profesi yang “paling cocok dibanding profesi lainnya.” Kegiatan melawak baginya dipandangnya sebagai sarana mengaktualisasi diri demi kepuasan batinnya.

Dia menyadari kelemahan atau kekurangan pada dirinya. Tapi dia memandang kelemahan ini justru sebagai kekuatannya. Tukul berkali-kali mengakui bahwa dirinya tidak ganteng dan masalah yang timbul dari penampilan seperti ini dalam mencari calon isteri. Sebagian dari kegagalannya mencari pacar bukan dari wajahnya yang ndeso tapi dari misteri cinta itu sendiri. “Cinta itu misteri,” tegasnya. Bagian lain dari kegagalannya memang dari wajahnya yang tidak ganteng. Dengan nada berkelakar, dia bilang, “Dari lima orang [wanita] yang pernah saya taksir [ sepuluh] orang menolak! Iya, karena wajah saya tidak ganteng.” Barangkali, yang dia maksudkan dengan sepuluh orang itu adalah kelima gadis itu ditambah salah satu orang tua mereka: ayah atau ibu.

Dia selanjutnya menyadari bahwa untuk menjadi orang sukses dan terkenal melalui dunia hiburan, dia seharusnya mengikuti selera pemirsa/penonton. Mereka lebih cenderung menyukai artis atau pelawak yang ganteng dan cerdas, termasuk pintar berbahasa Inggris. Tukul tidak memiliki apa yang dicari pemirsa/penonton. Dia juga dipandang wong ndeso yang lugu, culun (istilah Tukul sendiri untuk orang yang mirip orang desa yang cenderung lugu dan tidak berpendidikan), dan tidak mahir berbahasa Inggris. Tapi dia berhasil membalikkan tren dan menjadikannya salah seorang artis/pelawak tenar masa kini. Sesudah sukses, dia berpikir reflektif tentang rahasia “kekuatan dalam kelemahan” ini dan mengatakan, “Kelemahan yang ada di dalam diri saya, saya nikmati saja dan justru itu menjadi berkah bagi saya.” Ahmad Bahar menambahkan, “Justru dengan keluguan, sikapnya yang culun, wajah ala kadarnya, dan kemampuan bahasa Inggris yang belepotan, membuat Tukul memiliki daya jual sendiri dalam industri hiburan.”

Dari potongan kisah suksesnya tadi, kita tahu Tukul menerapkan ciri kecerdasan untuk sukses tadi. Dia memanfaatkan kemampuannya, kekuatan dalam kelemahannya, sebaik-baiknya.

“Orang yang secara sukses cerdas tahu bagaimana memanfaatkan kemampuannya sebaik-baiknya.”

Dimotivasi dari luar dan dalam

Tukul dimotivasi dari luar dan dalam dirinya. Lingkungan hidupnya berperan besar dalam membentuk motivasinya. Lingkungannya adalah keluarga miskin, kesulitan hidup sejak orang tua angkatnya jatuh miskin, lingkungan pendidikan resmi setingkat SMU, lingkungan pekerjaan serabutan di Semarang dan Jakarta di luar dunia lawak. Masalah hidup dari luar ini memengaruhi kondisi jiwanya dan memberinya dorongan untuk berjuang mengatasinya. Motivasi dari dalam dirinya diperkuat oleh suatu arah jangka panjang yang jelas: menjadi orang sukses dan terkenal, jadi mengatasi kemiskinannya menuju taraf hidup yang lebih baik.

“Orang yang secara sukses cerdas memotivasi dirinya.”

Mengendalikan dan memanfaatkan impuls-impuls

Tukul memiliki kemampuan untuk mengendalikan kecenderungannya untuk bertindak spontan sehingga menghambat kinerjanya secara optimal. Dia juga mempunyai kemampuan untuk berpikir reflektif, kemampuan untuk berkaca pada orang lain untuk mempertinggi kinerjanya dan melihat kelemahan dirinya sendiri yang menjadi penghambat kinerja optimalnya dan memperbaiki kelemahan itu.

Kisah sukses Tukul menunjukkan bahwa dia pandai dalam mengendalikan impuls-impulsnya. Sederhananya, impuls adalah suatu keinginan kuat yang timbul secara tiba-tiba atau suatu kebutuhan untuk menyalurkan keinginan kuat ini tanpa berhenti untuk memikirkan akibat-akibatnya. Impuls adalah masalah lain bagi Tukul yang kemudian disadari akan menjadi penghalang lain baginya untuk meraih impiannya. Apa siasat yang dipakainya untuk memecahkan masalah ini?

Dia menerapkan nilai-nilai mendasar yang universal, seperti yang diajarkan agama-agama monoteistik, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam. Kesabaran adalah salah satu nilai mendasar yang dia laksanakan. Kesabaran Tukul bisa saya bandingkan dengan iman Abraham untuk mendapat anak pada usia tua, lama sekali ditunggu tapi sepertinya tidak datang-datang. Penantian Tukul akan datangnya sukses mirip kisah iman Abraham tadi. Dia mengatakan: “Kata banyak orang, kalau di Jakarta bisa cepat ngetop, tetapi saya tunggu-tunggu sampai bertahun-tahun kok tidak ngetop-ngetop.” Mirip Abraham yang hampir pudar imannya lalu akhirnya mendapat seorang anak dari Sarah, isterinya yang sudah tua sekali, sebagai suatu ganjaran dari kesabarannya menunggu wujud dari Tuhan, Tukul menyadari juga kesabaran akan membuahkan ganjaran atau hasilnya juga. Yang mendapat ganjaran bukan “orang emosi” – orang yang tidak sabar – melainkan “orang sabar.” Katanya: “Orang sabar untungnya di depan mata. Orang emosi ruginya juga di depan mata.”

Kesabaran Tukul ternyata terkait erat dengan fokusnya pada tujuan hidupnya: untuk menjadi orang sukses dan terkenal. Sering, orang yang konsisten pada fokusnya yang tampak seperti suatu penantian gila akan suatu ganjaran hidup yang tidak jelas ditanggapi secara sinis oleh orang lain. Tukul pun mengalami tantangan psikologis ini, tapi dia tidak sekalipun melenceng dari tujuan hidupnya. Dalam hubungan ini, dia mengatakan: “Dulu saya diremehkan, direndahkan, Tukul itu siapa sih? Semua itu saya terima dengan ikhas dan sabar.” Karena tanggapannya itu ikhlas dan sabar, dia akhirnya berhasil menjadi orang sukses dan terkenal.

Tapi dalam melawak, Tukul menyiratkan bahwa impuls dalam arti improvisasi justru diperlukan. Sederhananya, improvisasi dalam lawak artinya kemampuan menemukan kata, kalimat, dan lain-lain sementara pelawak beraksi atau berbicara, tanpa direncanakan sebelumnya. Tukul pun melakukan improvisasi ketika melawak dan, karena itu, bertindak dalam konteks ini berdasarkan impulsnya. Mengapa impuls dalam arti improvisasi dibutuhkan Tukul? Jawabannya yang tidak langsung atau tersirat bisa dilihat dari siasatnya untuk menjadi pelawak menonjol melalui siaran radio. Untuk menunjukkan kepiawaiannya, pelawak itu harus mempunyai “kepandaian memotong omongan partner lawak, pendengaran harus tajam, dan mampu meneropong karakteristik pendengarnya saat dia melawak,” Bahar menjelaskan. Tapi improvisasi terjadi kalau lawak audionya tanpa teks yang dipersiapkan sebelumnya. Memotong omongan rekan lawak lalu menanggapinya secara spontan menunjukkan pelibatan improvisasi.

Survei psikologi UI mencirikan salah satu kecerdasan kognitif Tukul dengan istilah “improvisasi.” Saya belum tahu apakah tes IQ mengukur juga improvisasi. Tapi ciri improvisasi, seperti yang sudah dijelaskan, menunjukkan bahwa improvisasi itu suatu pembangkitan gagasan secara spontan (spontaneous generation of ideas), suatu penyebab kreativitas. Dari segi kecerdasan untuk sukses, improvisasi Tukul menunjukkan kecerdasan kreatifnya sebagai sumber improvisasi atau impulsnya untuk lawak.

Kecerdasan kreatif dicirikan oleh kemampuan seseorang untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang baru dan menarik. Pemikir kreatif itu sering pemikir sintetik yang baik, yang melihat hubungan antara berbagai gagasan yang tidak dilihat orang lain. Improvisasi dalam dunia lawak dicirikan oleh kemampuan pelawak menghasilkan gagasan-gagasan yang spontan, ide-ide yang baru dan menarik, yaitu, ide yang lucu yang mampu membuat orang tertawa. Tukul yang mempunyai kemampuan berimprovisasi dengan begitu memiliki kecerdasan kreatif, suatu sisi penting dari kecerdasan untuk sukses.

Selain improvisasi, impuls mengacu pada intuisi. Gampangnya, intuisi adalah suatu proses penalaran, tapi ironisnya tanpa penalaran. Dalam intuisi, orang bisa benar bisa keliru – unsur spekulasi ada di dalamnya. Orang keliru dalam intuisinya barangkali karena memakai penalaran yang palsu atau yang melingkar-lingkar. Orang benar dalam intuisinya barangkali karena memakai penalaran yang tepat, atau mengetahui sesuatu itu akan jadi benar tanpa mampu menjelaskan semua kebenaran dari intuisinya. Dia tidak mampu menjelaskan ini secara tuntas karena keterbatasan informasi yang relevan.

Dalam kecerdasan untuk sukses, intuisi adalah suatu sifat dari pengambilan keputusan yang baik, suatu bagian dari kecerdasan analitik. Pengambilan keputusan secara intuitif berdasarkan asumsi bahwa pengambil keputusan bukan orang yang sempurna karena keterbatasan info atau keterbatasan pikirannya yang realistik.

Apakah Tukul pernah mengambil keputusan yang intuitif? Kisah suksesnya tidak menjelaskan bagian kecerdasan untuk sukses ini. Keterbatasan info memang dia sebutkan waktu tiba pertama kali di Jakarta. Dia belum mempunyai gambaran yang jelas tentang apakah kehidupannya akan baik atau buruk di Jakarta. Tapi dia belajar mengenal lingkungan hidup, tantangannya, dan siasat apakah yang bisa dipakainya untuk berhasil. Pemecahan masalahnya secara intuitif – dalam arti menemukan pemecahan yang tepat meski info yang dibutuhkannya kurang dari ideal – barangkali harus dicari pada keyakinan religiusnya. Tukul seorang penganut Islam yang taat.

Kalau Tukul memang memanfaatkan intuisi, suatu contoh impuls, dia menunjukkan pengembangan kecerdasan dengan suatu ciri yang tidak tergolong pada kecerdasan untuk sukses. Tapi pengembangan ini masih dalam batas tema umum tentang kecerdasan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan.

“Orang yang secara sukses cerdas belajar mengendalikan impuls-impulsnya.”

Menerapkan tiga siasat

Tukul yang menyadari beratnya masa lampau riwayat hidupnya dan sekarang menjadi OKB menerapkan tiga siasat untuk menunda pemuasan hatinya. Pertama, melalui perencanaan masa depannya. Tentang pokok ini, dia mengatakan, “Kemewahan itu apa sih? Semuanya hanya akan mampir saja.” Dengan pernyataan ini, kita menangkap kesadaran Tukul bahwa kesuksesannya menjadi OKB dan terkenal suatu saat akan berlalu. Karena itu, dia harus mempersiapkan kehidupannya dengan baik. Kedua, dengan hidup hemat. Dia tidak tergoda untuk memboroskan kekayaannya. Dia menabung dan tinggal di lokasi pemukiman yang padat. Ketiga, dengan hidup sederhana. Kesederhanaan hidup ini tampak dari kebiasaan makan-minumnya di masa lampau yang dipertahankan sampai sekarang. Tentang kebiasaan ini, Susiana, isterinya mengatakan: “Mas Tukul makannya gampang, paling senang dibuatkan oseng kangkung, oseng kacang panjang, urap, telur mata sapi, tempe goreng, bakwan jagung, dan mi instan.” Dia juga tidak canggung makan di pinggir jalan atau datang ke tempat makan langganannya dulu ketika masih hidup dalam keadaan sulit.

“Orang yang secara sukses cerdas mempunyai kemampuan untuk menunda pemuasan hatinya.”

0 komentar: