I
RANGKUMAN SUCCESSFUL INTELLIGENCE
Menurut Prof. Robert J. Sternberg, kecerdasan untuk sukses berbeda sekali dengan pandangan lama berdasarkan IQ. Dia menyebutkan dua belas perbedaan utama antara kecerdasan untuk sukses dan IQ:
1. Tes kecerdasan konvensional atau lama (tes IQ) dianggap ukuran dari hanya sebagian kecil kecerdasan, bukan ukuran dari hampir semua atau semua kecerdasan. Tes lama berfokus pada apa yang Sternberg istilahkan “kecerdasan akademik tak giat (inert)”, kecerdasan orang-orang yang pandai dalam macam-macam ilmu tapi yang tidak bisa memakai ilmunya, misalnya, untuk sukses sebagai OKB (Orang Kaya Baru). Dengan kata lain, tes konvensional itu tidak menyoroti “kecerdasan untuk sukses yang aktif”, seperti yang dipakai Tukul untuk sukses menjadi OKB.
2. Kecerdasan untuk sukses, menurut Sternberg, melibatkan sisi analitik, kreatif, dan praktis. Sisi analitik dipakai untuk memecahkan masalah, sisi kreatif untuk menentukan masalah macam apa yang perlu dipecahkan, dan sisi praktis untuk membuat pemecahannya efektif. Kecerdasan konvensional mengukur hanya sisi analitik dari kecerdasan, dan bahkan tidak mengukur semua sisi tadi.
3. Kecerdasan bisa diubah. Kita tidak stagnan dengan jumlah kecerdasan tertentu. Yang cenderung terjadi, kita bisa meningkatkan kecerdasan kita; kita bisa juga menurunkan kecerdasan kita. Jadi, kecerdasan untuk sukses secara khusus terbuka untuk perubahan.
4. Kalau Anda masih sekolah atau kuliah dan ingin mengetahui tingkat kecerdasanmu, janganlah ambil tes pilihan banyak (multiple-choice). Kecerdasanmu mungkin diukur dengan cermat hanya dengan memakai tes pilihan banyak. Jadi, tes pilihan banyak perlu didukung tes yang membutuhkan berbagai macam tanggapan. Berbagai jenis tes cenderung memberi manfaat pada orang-orang yang berbeda-beda, jadi penting untuk memakai beraneka ragam instrumen tes atau alat tes.
5. Kecerdasan terutama bukan soal jumlah tapi perimbangan. Perimbangan antara tahu kapan dan bagaimana memakai kemampuan analitik, kreatif, dan praktis. Kecerdasan terlibat dalam mencari untuk mencapai tujuan apa pun. Kecerdasan untuk sukses terlibat dalam mencari perimbangan yang optimum supaya tujuan kita bisa dicapai.
6. Orang yang terlalu memakai kemampuan analitiknya yang mirip IQ sering sadar mereka kurang efektif dalam kehidupannya dibanding mereka yang memakai kemampuan ini secara sedang-sedang saja. Yang disebut terakhir menerapkan kemampuan ini hanya dalam keadaan yang terbatas.
7. Sudah dikatakan tes-tes kecerdasan tidak mengukur kemampuan kreatif atau praktis. Kemampuan ini juga menunjukkan hubungan yang lemah atau diabaikan dengan tes-tes konvensional. Oleh karena itu, kita perlu juga mengukur sisi-sisi tadi. Sisi-sisi itu meramalkan sukses di sekolah dan waktu kita bekerja. Ramalan ini sekurang-kurangnya sama baik dengan dan terkadang lebih baik dari tes-tes konvensional. Kita bahkan perlu mengukur kemampuan analitik lebih luas dari yang sudah kita lakukan sebelumnya.
8. Sekolah cenderung memberi ganjaran untuk kemampuan siswa yang kemudian dalam hidupnya menjadi tidak penting sekali. Akibatnya, sekolah sering tidak mendorong orang menekuni hal-hal yang akhirnya bisa mereka kerjakan paling bagus. Berbarengan dengan itu, sekolah boleh jadi mendorong orang untuk menekuni pilihan-pilihan yang kemudian mereka sadari mempunyai kompetensi yang terbatas. Kita perlu membuat tuntutan-tuntutan sekolah lebih cocok dengan tuntutan kehidupan sehari-hari.
9. Kecerdasan sebagian diwariskan, sebagian dari lingkungan hidup. Tapi kita sangat sulit membedakan kedua sumber variasi ini karena kedua-duanya saling memengaruhi dengan banyak cara yang berbeda-beda. Secara khusus, warisan dari kecerdasan untuk sukses belum diteliti, jadi kita tidak bisa mengatakan peranan apa, kalau ada, yang dimainkan faktor warisan pada kecerdasan untuk sukses.
10. Perbedaan rasial dan etnik dalam IQ mencerminkan hanya sebagian kecil dari kecerdasan sebagai suatu keseluruhan. Bukti yang paling baik menunjukkan bahwa perbedaan itu sebagian besar atau semuanya berasal dari lingkungan hidup.
11. Suatu unsur yang penting dari kecerdasan adalah keluwesan. Jadi, kita perlu mendidik anak-anak untuk melihat permasalahan dari macam-macam sudut-pandang. Mereka, terutama, perlu dididik juga untuk melihat bagaimana orang dan kebudayaan lain melihat permasalahan dan masalah yang dihadapi dunia.
12. Orang yang secara sukses cerdas memperhitungkan kekuatan dan kelemahannya. Kemudian, mereka menemukan cara-cara untuk memanfaatkan kekuatannya sebaik-baiknya dan membetulkan atau memperbaiki kelemahannya – menemukan cara-cara untuk menghindari apa yang mereka tidak bisa kerjakan dengan baik, atau apa yang mereka usahakan agar dikerjakan dengan baik.
Menemukan pemecahan yang baik dengan kecerdasan analitik
Kecerdasan analitik adalah komponen pertama dari kecerdasan untuk sukses. Kecerdasan analitik melibakan arah yang disadari dari proses mental kita supaya kita bisa menemukan pemecahan yang dipikirkan tentang suatu masalah. Pemikiran analitik bisa dipakai untuk bermacam-macam maksud, termasuk untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Memecahkan masalah bertujuan untuk bergerak dari suatu situasi masalah – misalnya, kekurangan uang untuk membeli sebuah mobil – ke suatu pemecahan, sambil mengatasi halangan-halangan yang ditemukan sementara bergerak. Mengambil keputusan bertujuan untuk memilih dari banyak pilihan atau untuk menilai peluang-peluang – misalnya, memilih mobil yang akan sangat menyenangkan kita untuk jumlah uang yang kita miliki.
Prof. Sternberg berbicara tentang lingkaran pemecahan masalah. Ada enam lingkaran dan sesudah lingkaran terakhir dicapai, orang kembali memulai lingkaran pemecahan masalah dari awal.
Pertama, kita tidak bisa memecahkan masalah kalau kita belum tahu apa masalahnya. Jadi, supaya bisa memecahkan masalah, kita pertama-tama harus tahu ada masalah.
Tapi apa itu masalah? Sulit mmenjelaskannnya, tapi ada tanda-tanda bahwa ada hal-hal yang kita alami yang kita tahu atau rasakan tidak beres. Orang merasa tidak nyaman, tidak tenteram atau mereka sekarang sukses dan tahu suatu waktu mereka tidak akan bertahan di puncak kejayaannya lagi.
Kedua, begitu mengenal masalah, mereka harus mengenal apa sesungguhnya masalah itu. Kalau tidak bisa tahu persis masalahnya, mereka akan memboroskan banyak waktu dan tenaga untuk memecahkan masalah yang tidak jelas.
Ketiga, sesudah tahu secara tepat apa masalahnya, seseorang harus memiliki siasat untuk memecahkan masalah. Dia, misalnya, mempunyai rencana jangka panjang dan menunda godaan untuk menghambur-hamburkan uangnya sebanyak 100 miliar rupiah, hasil membanting-tulang selama tiga puluh lima tahun, sampai ludes dalam enam bulan!
Keempat, selain memiliki siasat, orang juga harus mempunyai info yang tepat, terutama info yang akan menuntunnya dengan tepat untuk menjadi orang yang sukses. Sering halangan yang besar terhadap mereka untuk mendapat info yang tepat berasal dari prasangka buruknya sendiri. Misalnya, mereka tahu banyak orang membenci orang Yahudi. Tanpa berpikir kritis, mereka terjebak ke dalam prasangka buruk itu dan kehilangan info yang tepat tentang sukses. Info itu justru datang dari seorang pakar sukses sedunia berdarah Yahudi. Kalau prasangka buruk kita kesampingkan, info yang tepat tentang sukses dari mana pun, tidak peduli penulisnya orang yang dibenci atau tidak oleh banyak orang, justru bisa menuntun kita untuk sukses.
Kelima, selain memperoleh info yang tepat, memecahkan masalah menyangkut juga kemampuan orang menyediakan sumber, misalnya waktu kerja. Kemampuan mereka untuk menyediakan sumber, seperti menyediakan waktu untuk bekerja, adalah suatu kunci yang bisa membuat mereka berbeda atau malah sama dengan orang lain yang prestasinya tidak menonjol. Orang pintar menyediakan waktu secara efektif selama kerjanya masih belum memberikan hasil yang ingin mereka capai. Orang bodoh menyediakan waktu kerjanya secara sembrono dan akhirnya mencapai hasil di bawah harapannya.
Keenam, orang juga harus membuat pemantauan dan penilaian. Pemantauan artinya mencatat kemajuan selama proses pemecahan masalah. Kalau, misalnya, jalan ke arah menjadi pelawak dengan penghasilan 100 miliar rupiah setahun sudah mulai terbuka bagi seseorang, dia harus memantau perjalanannya langkah demi langkah dari pelawak dengan penghasilan kurang dari 20 ribu rupiah sekali pentas lalu meningkat secara bertahap sebelum dia nanti meraih 100 miliar rupiah itu. Penilaian itu menyangkut pertimbangannya tentang mutu proses pemecahan masalah dan pemecahan yang sudah dia capai. Misalnya, tujuan akhir dia adalah untuk menjadi OKB dengan penghasilan 120 juta rupiah setahun. Hitung-hitung, dia bisa mencapai jumlah itu dalam waktu lima tahun. Setiap tahun, dia berencana bisa memperoleh 24 juta rupiah, setiap bulan 2 juta rupiah. Dia menilai bahwa selama dua bulan tahun ini, dia kehilangan 4 juta rupiah karena kontrak pentas di stasiun televisi A batal. Supaya rencana lima tahunnya tidak gagal, dia menilai bahwa, untuk memperoleh 4 juta yang hilang itu, dia mencari stasiun televisi lain untuk tampil. Beruntung stasiun televisi B dan C mau dan dia dibayar untuk acara pentas yang berbeda masing-masing 2 juta sebulan. Uang 4 juta yang hilang sekarang dia dapat. Pemantauan dan penilaian adalah langkah terakhir dalam lingkaran pemecahan masalah.
Mengambil keputusan yang baik dengan kecerdasan analitik
Memecahkan masalah dengan enam lingkaran cara tadi berkaitan dengan pengambilan keputusan. Seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan juga memakai kecerdasan analitik.
Bagaimana caranya orang yang memiliki kecerdasan analitik mengambil keputusan? Apa syaratnya?
Orang yang secara sukses cerdas memakai otaknya tapi tahu ada batas dari pikiran rasionalnya. Untuk memakai otak dengan baik, mereka harus memiliki siasat. Ada bermacam-macam siasat, dan tidak ada satupun siasat yang sempurna. Siasat rasional yang tidak sempurna itu sekaligus adalah batas dari pikiran rasional ketika mengambil keputusan.
Salah satu siasat itu disebut “kerugian minimaks”, singkatan dari kerugian minimum-maksimum. Menurut aturan ini, orang meminimalkan (mengurangi) kerugiannya yang maksimum (banyak).
Misalnya, Ibu Nelly mengeluarkan uang 5 juta rupiah untuk membuka warung minuman ringan, termasuk air mineral, ditambah minuman jus segar di tempat banyak buruh bangunan bekerja tujuh hari seminggu selama berbulan-bulan. Dia akhirnya punya keuntungan bersih lebih dari 4.5 juta rupiah di akhir bulan pertama.
Apa yang terjadi dari usahanya ini disebut kerugian minimaks: dia mengurangi kerugiannya yang maksimum. Meski mengeluarkan lima juta rupiah (ongkos-ongkos ditambah belanja bulanan) bulan pertama, sisanya yang dia hitung sebagai keuntungannya masih dia anggap bukan kerugian maksimum.
Siasat lain, kebalikan dari kerugian minimaks, disebut “keuntungan maksimin”, keuntungan maksimum minimum. Menurut aturan ini, orang memaksimumkan keuntungan minimumnya. Misalnya, Pak Zulkifli memutuskan untuk melakukan pekerjaan yang membosankan pada suatu perusahaan dengan gaji sedang – suatu keuntungan yang sedikit minimum – dan tidak berani mencari peluang untuk membuat suatu usaha yang baru. Tetap melakukan pekerjaan lamanya memaksimumkan keuntungan minimumnya sementara membuka suatu usaha baru bisa memaksimumkan keuntungannya di atas kertas (potensial) tapi tidak memaksimumkan keuntungan minimumnya yang juga di atas kertas.
Siasat lain lagi disebut “permainan jumlah nol”, permainan – seperti main catur – yang di dalamnya satu orang pemenang menunjukkan hasil positif (+) yang mengimbangi hasil negatif (-) pecundangnya. Positif tambah negatif sama dengan nol. Siasat menang-kalah yang dicontohkan dengan permainan catur ini dalam kenyataan sehari-hari rumit.
Orang yang secara sukses cerdas tidak terjebak ke dalam permainan jumlah nol tadi. Mereka cenderung berpikir tentang kepentingannya dan kepentingan orang lain. Dengan cara demikian, mereka sering mampu membuat kesepakatan yang menuju suatu pemecahan. Pemecahan itu efektif secara maksimal tidak untuk diri mereka tapi untuk setiap orang.
Apa siasat lain lagi dari pengambilan keputusan? Dalam bahasa Inggris, siasat itu disebut satisficing, suatu macam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini, kita tidak menimbang semua pilihan yang ada lalu secara hati-hati menghitung mana di antara pilihan itu yang memaksimumkun keuntungan dan mana yang meminimumkan kerugian kita. Yang cenderung kita buat adalah menimbang setiap pilihan satu demi satu lalu menentukan pilihan pertama yang menurut kita memuaskan. Pendek kata, itu pilihan yang lumayan baik. Dengan kata lain, kita menimbang jumlah minimum pilihan yang mungkin ada lalu memutuskan apa yang kita percaya akan memuaskan syarat-syarat minimum kita.
Misalnya, Kristina yang lajang itu ingin membeli mobil Honda Jazz dengan warna, ukuran, model, dan harga tertentu. Dia tidak perlu masuk ke luar semua diler yang menjual Honda Jazz untuk mencari Honda Jazz mana yang cocok. Begitu masuk diler pertama yang menjual macam-macam Honda Jazz, dia langsung memilih model pertama yang cocok atau yang memuaskan hatinya dengan semua patokan yang ada di otak dan hatinya. Tapi bisa timbul masalah kalau siasat satisficing dipakai untuk mencari calon suaminya. Begitu ketemu pada pandangan pertama dan semua syarat minimum tentang bisa tidaknya dia jadi pasangan hidup dipenuhi, pasangan itu lalu cepat menikah dan membina keluarga. Tapi begitu ada PIL yang lebih hebat dari syarat minimum tadi, Kristina bisa menghadapi masalah.
Proses pengambilan keputusan yang lain berdasarkan penilaian masa lampau. Sebelum mengambil keputusan tentang suatu masalah baru, kita menilai pengalaman masa lampau dan bergerak dengan cara coba-coba benar-salahnya pengalaman lampau itu untuk memecahkan suatu masalah.
Penilaian masa lampau bisa kita pahami lebih baik melalui konsep yang disebut base-rate dalam bahasa Inggris. Base rate berarti lasimnya atau meratanya suatu peristiwa atau suatu ciri di dalam populasi peristiwa atau ciri itu. Ada info base rate dan orang sering mengabaikan info ini. Padahal info macam ini penting untuk membuat penilaian dan pengambilan keputusan yang efektif. Ambil produk macam-macam merek komputer seperti Acer, Samsung, dan Hewlett Packard sebagai contoh penjelasan. Kalau ketiga merek komputer ini tergolong yang paling laku di Indonesia, calon pembeli yang sudah punya info base-rate tentu akan cenderung membeli komputer dari salah satu merek ini dibanding membeli komputer dengan merek yang lain. Mengapa dibeli? Karena base rate. Perusahaan tempat komputer dibeli tadi mempunyai rekor penjualan rata-rata yang baik di masa lampau. Tapi kalau kita jadi ketagihan dengan pembelian komputer dari satu merek saja, kita boleh jadi sulit mengubah kebiasaan kita tentang hal-hal apa pun yang baru.
Penilaian masa lampau dalam pengambilan keputusan menjadi tinggi kalau berisi contoh-contoh yang sesuai dengan suatu gejala. Ketika tsunami yang menghancurkan sebagian Aceh dan Nias tersebar melalui media berita nasional dan internasional, banyak orang di Indonesia merasa tidak nyaman tinggal di kawasan pantai dan yang rentan terhadap gempa bumi. Ada yang memilih pindah ke kawasan yang jauh dari pantai dan yang tidak atau jarang terkena gempa bumi.
Belum tentu keputusan mereka untuk pindah bisa menyelamatkan mereka. Bagaimana kalau tempat baru yang mereka percaya nyaman dan aman itu tanpa diketahui malah rentan gempa bumi yang destruktif? Mereka bisa menjadi korban.
Ada lagi keanehan dalam penilaian orang yang mengakibatkan mereka mengambil keputusan yang keliru. Misalnya, orang yang rasa percaya dirinya melewati batas bisa membuat penilaian diri yang tidak realistis tentang keahlian, pengetahuan, atau penilaian pribadinya. Petinju yang terlalu percaya diri bisa kalah secara memalukan dari lawannya yang lebih kuat dan trampil; ada yang bahkan tewas karena pukulan telak lawannya. Ada juga kesalahan penilaian seperti yang dibuat pemain judi. Mereka percaya takdir keberuntungannya akhirnya akan berubah. Tidak terpikirkan oleh mereka bahwa kekalahan bahkan kebangkrutan bisa terjadi dengan kepercayaan yang keliru macam ini. Akhirnya, ada juga yang membuat keputusan yang keliru karena kesalahan susunan. Mereka percaya apa yang benar dengan bagian benar juga untuk keseluruhan. Albert Bintaro yang tergila-gila untuk menjadi Albert Einstein yang baru bisa meniru pekerjaan Einstein sebelum jadi terkenal: dia bekerja di kantor paten karena sebelum Einstein terkenal dia juga bekerja di kantor paten. Sementara ada faktor-faktor lain yang mengakibatkan Einstein asli akhirnya terkenal, peniru Einstein itu akhirnya tidak kedengaran lagi lanjutan ceritanya. Dia keliru percaya bahwa meniru bagian dari kehidupan Einstein – menjadi pegawai kantor paten – sama dengan meniru seluruh kehidupan Einstein .
Untuk mempersingkat cerita sejauh ini, pengambilan keputusan berdasarkan beberapa model. Model itu dari yang sepenuhnya rasional sampai yang kecenderungan rasionalnya terbatas. Tren dari model yang pertama ke yang kedua melibatkan pengakuan yang makin meningkat bahwa kita bukan pengambil keputusan yang sempurna. Kita mengambil keputusan dalam lingkungan yang kurang dari ideal karena informasi yang kita peroleh tidak memadai atau tidak lengkap dan kita memakai pikiran obyektif dan rasional yang terbatas. Sering, kita bahkan rela menentukan pilihan pertama yang bisa diterima dan tersedia, sadar bahwa pilihan-pilihan lain barangkali lebih baik. Tapi kita tidak mau menentukan pilihan lain karena kita tidak mau menyediakan waktu atau sumber untuk menimbang-nimbang pilihan lain itu.
Tanda Resmi
“Orang yang secara sukses cerdas mengakui batas pikiran rasional dan juga menyadari jebakan-jebakan terhadap pemikiran mereka. Pemecahan dan keputusannya bisa intuitif atau bernalar, atau suatu gabungan dari kedua-duanya, tetapi mereka jarang merasa bersalah karena proses-proses pikiran yang bisa mengarah pada kesalahan-kesalahan dalam penilaian.”
Meski ada keterbatasannya, kecerdasan analitik tentu penting dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang baik. Kecerdasan analitik adalah tanda resmi dari kecerdasan untuk sukses.
0 komentar:
Posting Komentar