DAFTAR ISI
- Google Merasa Sangat Tidak Nyaman dengan China
- Suatu Ujian terhadap Semangat Demokrasi di China?
Google Merasa Sangat Tidak Nyaman dengan China
Sudah lama Beijing menetapkan pembatasan yang unik pada informasi di China. China adalah salah satu dari sedikit negara di dunia masa kini yang melakukan penyensoran informasi. Google yang merasa sangat tidak nyaman dengan sistem penyensoran Beijing toh mau mencari suatu jalan keluar: perusahaan ini menawarkan suatu situs lokal yang mengikuti hukum-hukum penyensoran informasi dari pemerintah China. Google tidak pernah melakukan hal ini di tempat lain.
Mengapa Google Mau Keluar dari China?
Sikap “lentur” Google dengan menawarkan situs lokal itu tidak berarti perusahaan itu mundur saja dari bisnisnya di China atau setuju dengan pembatasan informasi yang dikenakan Beijing. Sudah lama Eric Scmidt, CEO Google, mempertahankan keputusan perusahaannya untuk melakukan bisnis di China kendati pembatasan yang dikenakan Beijing pada kebebasan Internet di negara itu. Akan tetapi, sekitar pertengahan Januari 2010, Google mendadak mengancam akan keluar dari China sesudah perusahaan itu menderita serangan-serangan heker yang dipercaya berasal dari China.
Apa pertimbangan Google untuk keluar dari China? Jawaban Eric Schmidt bisa dipadatkan menjadi dua pertimbangan dasar: penolakan terhadap sistem pembatasan informasi yang bisa merugikan China secara ekonomi dan pembelaan terhadap nilai kebebasan informasi dan individu.
Penolakan terhadap penyensoran China
Dengan menerapkan pembatasan informasi, Beijing meminta Google menerima suatu sistem penyensoran yang membuat perusahaan itu merasa sangat tidak nyaman. Ini mengakibatkan Google tidak lagi ingin ikut serta dalam penyensoran.
Menurut Eric Schmidt, China menetapkan pembatasan-pembatasan unik pada informasi. China adalah satu-satunya negara di dunia tempat Google mau menawarkan suatu situs lokal yang mengikuti sistem penyensoran sah informasi di China. Google tidak pernah melakukan hal ini di tempat lain.
Secara ekonomi, pembatasan informasi yang ditetapkan China, menurut CEO Google tadi, akan merugikannya dalam jangka waktu yang panjang. Lebih baik menerapkan suatu sistem yang di dalamnya orang bisa bebas berimajinasi, menemukan sesuatu, dan saling berhubungan. Semakin banyak orang berspekulasi, semakin banyak orang saling berhubungan, semakin baik. Kebebasan berinternet macam ini akan menguntungkan secara ekonomi, dalam jangka panjang.
Pembelaan terhadap kebebasan informasi dan individu
Motivasi Google untuk keluar dari China tidak selalu atau tidak melulu motivasi bisnis. Schmidt menjelaskan keputusan Google berdasarkan nilai-nilai, berdasarkan apa yang paling baik dari suatu sudut-pandang global. Nilai-nilai global apakah yang paling baik? Kebebasan untuk berinternet. Di samping itu, pemberdayaan individu dalam kebebasan itu.
(“A Conversation with Google’s Chairman and CEO” oleh Fareed Zakaria Newsweek January 25, 2010 p. 34)
Suatu Ujian terhadap Semangat Demokrasi di China?
Google mengambil suatu keputusan untuk menolak aturan-aturan Beijing yang menyensor Internet dan menimbulkan suatu konflik dengan China. Ada apa di balik konflik itu? Keputusan Google itu “mencerminkan suatu ketegangan yang berkembang dan penting dengan China, dan hubungannya dengan bagian lain dunia,” jawab Fareed Zakaria dari Newsweek (25 Januari 2010).
Selain menyensor Internet, China juga menetapkan batas-batas unik pada informasi. Ia satu-satunya negara penting yang menerapkan suatu sistem penyensoran yang resmi dan rinci yang mewajibkan semua perusahaan yang bergerak di bidang informasi untuk menerimanya. Sebagai akibatnya, mereka yang ingin akses Internet ke situs-situs web yang sensitif terhadap pemerintah China, seperti pembantaian di Alun-Alun Tiananmen atau Dalai Lama, akan menemukan bahwa situs-situs itu diblokir. Berbarengan dengan itu, China tengah mengembangkan peralatan khusus yang berfungsi sebagai mata-mata saiber (cyber) atau serangan-serangan saiber terhadap organisasi-organisasi hak asasi manusia dan, terutama, terhadap perusahaan dan pemerintahan asing, termasuk lembaga-lembaga yang melindungi keamanan nasional Amerika Serikat.
Teknologi mata-mata saiber yang tengah dikembangkan China, suatu negara raksasa, mengacu pada kegiatan mata-mata. Memang, negara-negara adidaya saling memata-matai. Tapi upaya China tampaknya luar biasa gencarnya.
Pergeseran-Pergeseran Politik Tertentu
Kontrol atas informasi tadi, bagi para pengamat sejarah perubahan China sesudah PD II, menunjukkan pergeseran-pergeseran politik tertentu. Fareed Zakaria mengidentifikasi dua pergeseran signifikan.
Sikap meremehkan hubungan
Pergeseran pertama yang diperkirakan tengah terjadi di Beijing adalah yang paling signifikan. Pergeseran apa? Suatu sikap Beijing yang makin meremehkan hubungannya dengan Washington dan Barat pada umumnya.
Selama 1980-an dan 1990-an, strategi modernisasi China adalah bersikap baik dengan orang-orang Barat, terutama dengan orang Amerika Serikat. AS dibutuhkan sebagai suatu sumber modal, pasar bagi ekspor China, penyedia teknologi dan pengetahuan praktis, dan suatu sekutu China untuk mencapai tujuan-tujuannya, seperti keanggotaannya dalam Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO).
Tapi selama beberapa tahun terakhir, China sudah berubah. Berbeda dengan sebelumnya, banyak anggota pimpinan China tampaknya percaya mereka tidak lagi membutuhkan AS. Ini bisa diamati dari perilaku beberapa pejabat tinggi China terhadap pejabat-pejabat dan pengusaha AS. Misalnya, di Kopenhagen, ibu kota Denmark, China memamerkan rasa tidak hormat yang menonjol yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap AS dan negara-negara Barat yang lain. Berbeda dengan sebelumnya, pejabat-pejabat tinggi eselon kedua China menghadiri pertemuan-pertemuan penting yang dihadiri kepala-kepala negara di Kopenhagen, 22 Januari 2010. Delegasi China di Kopenhagen dipimpin Wen Jiabao, Perdana Menteri China. Tapi dalam suatu pertemuan itu, salah seorang anggota delegasi China berteriak dan mengayun-ayunkan jarinya kepada Presiden Barack Obama. Ini dibaca sebagai suatu petunjuk bahwa Wen sudah kehilangan kendali atas salah seorang anggota tim perundingannya.
Mengapa muncul suatu sikap kurang santun dari seorang anggota delegasi China yang kedudukannya tidak setara dengan Presiden AS itu? Zaman sudah berubah dan Beijing barangkali tengah merenungkan perubahan-perubahan ini, Zakaria mencoba menjawab pertanyaan tadi. Perubahan-perubahan apa? Pertumbuhan berbagai sektor ekonominya yang menambah kepercayaan dirinya secara internasional. Selama beberapa daswarsa terakhir, pasar dalam negeri China sendiri sudah bertumbuh, ekspornya ke negara-negara non-Barat kini signifikan, surplus modalnya sendiri sangat besar. Ini semua boleh jadi membuat China kurang rela mengakomodasi dirinya pada gagasan-gagasan, perusahaan, dan pemerintahan Barat.
Sikap China yang kurang rela mengakomodasi dirinya bisa juga mengacu pada orientasinya pada pemahaman jatidiri dan peningkatan parokialisme. China suatu negara besar; karena itu, ia tampaknya memikirkan dan berbicara secara tidak wajar tentang dinamikanya di dalam negeri. Sebagai akibatnya, ia kurang memusatkan perhatiannya keluar sementara ia bergerak menaiki tangga ekonomi. Selain itu, ada tiga faktor lain di balik orientasinya. Pertama, kebudayan China cenderung ke arah pemahaman jatidirinya. Kedua, China menganut suatu sistem politik Leninis (pengikut teori politik, sosial, dan ekonomi Vladimir Lenin, seorang tokoh komunis Rusia) yang merasa terancam oleh kecenderungan-kecenderungan global. Ketiga, perasaan terancam China hanya menambah parokialisme, kecenderungan ke arah masalah-masalah lokal yang sempit tanpa menghiraukan masalah-masalah yang lebih umum atau lebih luas.
Sentralitas yang diperbarui
Pergeseran politik masa kini yang kedua yang diidentifikasi Fareed Zakaria ialah sentralitas yang diperbarui dari negara. Selama 1980-an dan 1990-an, kebanyakan pertumbuhan China berasal dari sektor swasta dan pedesaan. Tapi akhir-akhir ini, pertumbuhannya didorong oleh sektor umum dan kekotaan. Sebagai akibatnya, ekonomi negara diberdayakan. Gejala pertumbuhan ini melaju selama tahun terakhir ketika China membelanjakan 12.3 persen Produk Domestik Kotor sebagai rangsangan fiskalnya. Pemberdayaan ekonomi negara berkaitan dengan pergeseran politik yang kedua: reformasi sentralitas pemerintah China.
Berkaitan dengan sentralitas tadi, apakah tindakan-tindakan Beijing terhadap ancaman kecenderungan-kecenderungan global - misalnya, dari Google, perusahaan-perusahaan dan negara Barat, dan pemerintah Obama – bagian dari suatu strategi baru, hal itu masih akan dilihat. Suatu kelompok berhaluan keras di China, sering disebut “kanan baru”, mendukung Beijing mengambil tindakan yang lebih agresif dan lebih tegas. Tapi tindakan-tindakan Beijing tadi bisa saja tidak berdasarkan suatu strategi baru. Tindakan-tindakan itu barangkali disebabkan masalah kepemimpinan China: terpecah-pecah, tidak pasti, bingung. Oleh karena itu, tindakan-tindakannya boleh jadi adalah akibat taktik-taktik dan kesalahan-kesalahan, bukan akibat strategi. Beijing menghadapi berbagai tantangan dari luar dan dalam negeri, termasuk perjuangan penggantian pimpinan dalam Partai Komunis China.
Konflik Google dengan China seputar masalah pembatasan informasi dan komunikasi melalui Internet tidak akan dipahami secara proporsional kalau sudut-pandang China tidak ikut dipertimbangkan. Dalam hubungan ini, ada dua aspek gamblang yang perlu dipertimbangkan. Pertama, perubahan timbal-balik dari Internet. Sementara Internet tengah mengubah China, China pun tengah mengubah Internet. Kedua, pembentukan timbal-balik dari globalisasi. Sementara globalisasi sudah membentuk China, China pun tengah membentuk globalisasi.
Apa implikasi kedua aspek tadi terhadap sentralitas yang diperbarui dari negara China? Fareed Zakaria meramalkan bahwa perubahan dan pembentukan timbal-balik tadi akan mengakibatkan China naik. Naiknya China akan memperkuat nasionalismenya dan juga memperkuat suatu kesadaran tentang keunikannya. Penguatan nasionalisme dan kesadaran tentang keunikan China mengakibatkan negara itu kurang berpeluang untuk berintengrasi secara mudah ke dalam sistem global. Dengan demikian, negara besar itu boleh jadi akan melakukan pembaharuan terhadap sentralitas pemerintahannya.
Konflik Nyata Antarperadaban?
Pergeseran yang terjadi di China dan peluang negara besar ini untuk menjadi suatu pemimpin global di masa depan akan dipahami lebih jauh kalau peranan dua negara utama lain di masa lampau, kini, dan di masa depan disoroti juga. Kedua negara itu adalah Inggris (Britania) dan Amerika Serikat.
Sebelum China diperkirakan akan menjadi suatu pemimpin dunia di masa depan, Inggris dan Amerika Serikat sudah menjadi negara adidaya.
Kerajaan Britania (British Empire) sangat luas dan dominan pada zamannya. Ia adalah nama lain untuk Kerajaan Bersatu Britania (United Kingdom of Britain); Irlandia Utara; bekas domini (seperti Kanada, Australia, dan Selandia Baru); jajahan-jajahan; dan teritori lainnya di seluruh dunia. Semuanya menyatakan kesetiaannya pada Tahta Britania antara akhir 1500-an dan pertengahan abad ke-20. Di puncak kejayaannya awal 1900-an, Kerajaan Britania mencakup lebih dari 20 persen kawasan tanah dunia dengan lebih dari 400 juta orang.
Amerika Serikat, suatu bekas jajahan Kerajaan Britania, merdeka 1776. Sesudah Perang Dunia II, pengganti hegemoni Kerajaan Britania adalah Amerika Serikat. AS menjadi suatu kekuatan ekonomi dan militer utama di dunia, dengan Uni Soviet sebagai saingannya bagi dominasi global.
Karena banyak penduduk AS berasal dari Inggris, maka tradisi – termasuk bahasa dan agama, khususnya Protestantisme, dan sistem nilai-budaya – di AS dipengaruhi tradisi Anglo-Sakson, tradisi pengujar asli bahasa Inggris. Kemiripan atau persamaan kebudayaan dan peradaban Anglo-Sakson di Britania dan di Amerika Serikat menjadi suatu perkembangan yang bisa dipahami.
Hegemoni global kedua negara adidaya itu memberi dampaknya sampai sekarang. Berbagai bangsa dan negara di berbagai penjuru dunia didominasi oleh pengaruh Kerajaan Britania dan AS dalam berbagai bidang: sains, teknologi, kesusastraan, kesenian, pendidikan, agama, filsafat, mode, musik, kemiliteran, kepolisian, pemerintahan, perdagangan, bisnis, film, hiburan, dan lain-lain.
Karena persamaan atau kemiripan kebudayaan dan peradaban kedua bangsa besar tadi, dunia beralih secara mulus dari hegemoni global Britania ke AS. Kedua negara itu memiliki gagasan-gagasan yang sangat mirip tentang ketertiban dan nilai-nilai global. Kedua-duanya adalah negara-negara yang berdagang bebas, dan – di masa lampau – berhubungan dengan dunia lain melalui pelayaran. Selain itu, kedua-duanya digerakkan oleh suatu misi Protestan Agung dan suatu kesadaran tentang nilai-nilai universal yang dialami bersama di seluruh dunia.
Naiknya China ke pentas global tampaknya akan menjadi suatu tantangan bagi dominasi global Anglo-Amerika, yaitu, dominasi warga negara AS atau Kanada yang leluhurnya berasal dari Britania Raya. Sementara China naik ke pentas dunia, ramal Fareed Zakaria, kita akan memerhatikan bahwa ia berbicara dalam suatu bahasa yang sangat berbeda dengan dialek Anglo-Amerika. Bahasa yang sangat berbeda ini mencakup nilai-nilai China yang diperkirakan akan membentuk aturan-aturan dan kerutinan kehidupan internasional. Ini bisa terbukti merisaukan banyak negara di luar AS dan Britania. Negara-negara seperti India, Jepang, Australia, dan Indonesia yang menyadari hegemoni global China bisa merasa bingung atau malu. “Kalau China benar-benar ingin menjadi suatu kekuatan dunia, ia harus menunjukkan bahwa ia punya suatu orientasi ke luar, terbuka pada arus-arus modernitas yang tengah melanda dunia,” Fareed Zakaria menyarankan. “Bagaimana Beijing memilih untuk menanggapi Google akan menjadi suatu ujian yang baik tentang keinginan dan kemampuannya menjadi suatu pemimpin global.”
(“Clash of the Titans How the Democratic Republic of Google is testing China’s appetite for democracy itself” oleh Fareed Zakaria Newsweek January 25, 2010, pp 32-34 dan sumber-sumber lain)